Angkot Bandung


Angkutan Umum Penumpang (AUP) memang seharusnya menjadi pilihan bagi mobilitas warga kota alih-alih kendaraan pribadi karena dibandingkan dengan menggunakan kendaraan pribadi, angkutan umum menawarkan: 1) total biaya perjalanan lebih murah; 2) waktu perjalanan lebih cepat; 3) layanan bisa diandalkan. Akan menjadi lebih menarik bila dilengkapi dengan kenyamanan, sedangkan “keamanan” sifatnya menyeluruh, bukan hanya di sektor angkutan.

Masalahnya apakah layanan AUP Kota Bandung sudah memenuhi syarat tersebut di atas ? Mengapa penggunaan kendaraan pribadi, terutama sepeda motor, seolah-olah tanpa kendali bahkan sepeda motor sekarang menjadi raja jalanan, atau malah setan jalanan sebagaimana dikeluhkan oleh banyak pengemudi kendaraan roda-4 ? Mengapa AUP kurang diminati, kecuali oleh “paksawan” yakni kelompok masyarakat yang tidak mempunyai pilihan lain sehingga terpaksa menggunakan jasa AUP untuk menunjang kegiatannya. Di samping itu, mengapa layanan AUP tidak menjamin keandalan, kenyamanan, apalagi keamanan bahkan tidak jarang pengemudi meminta ongkos lebih ? Apa yang “salah” ?

Tulisan ini hanya membatasi pada tinjauan AUP (Angkot dan TMB) atas dasar hasil penelitian dan pengamatan mahasiswa Itenas yang saya sarikan di bawah ini. Disadari bahwa hasil penelitian ini belum sempurna, namun dari dua aspek utama yang ditelaah, penentuan faktor muatan dan tarif, sedikit banyak bisa memberi gambaran kondisi AUP Kota Bandung.

 


Sistem Pelayanan AUP

AUP memang harus diistimewakan, bahkan layak dianakemaskan dalam sistem perangkutan (khususnya angkutan perkotaan) dengan maksud dapat melayani mobilitas masyarakat menggantikan penggunaan kendaraan pribadi. Jadi, wajar-wajar saja mendapatkan subsidi dengan maksud agar sistem dan layanan AUP dapat diandalkan dan “murah” serta aman-nyaman. Bila ini terjadi, dapat dipastikan akan lebih banyak kendaraan pribadi tersimpan di garasi atau bahkan barangkali segera dijual. Volume kendaraan di jalanan menurun dan lalu lintas menjadi lebih lancar, polusi dapat dikurangi, penggunaan BBM dapat berkurang, dlsb.

Mengapa sepeda motor begitu laris manis, bahkan tak sedikit orang yang sudah memiliki mobil masih juga membeli dan memilih menggunakan sepeda motor untuk keperluan pergi-pulang bekerja ? Mengapa jumlah penumpang AUP merosot drastis sementara sepeda motor makin hari makin “menyemut” di jalanan ? Mengapa ribuan orang memilih sepeda motor untuk mudik-balik pada masa lebaran/liburan ? Alasan utama adalah biaya lebih murah dan mudah berkelit dari kemacetan lalin serta (menurut ukuran para pengguna) nyaman dalam arti luas.

PNS dan/atau masyarakat golongan menengah ke bawah yang memilih menggunakan kendaraan pribadi, dapat dipastikan sudah berhitung dengan resiko pilihannya. Sudah seharusnya Pemerintah menawarkan pilihan lain, yakni AUP. Sayang, pengelolaan sistem AUP belum/tidak didasarkan pada penelitian dan perhitungan rasional. Penetapan tarif tidak rasional karena kepentingan pengusaha/operator jasa AUP kurang diperhitungkan.

Keberhasilan layanan AUP ditentukan oleh hal-hal sebagai berikut:

  • jumlah biaya perjalanan lebih murah daripada menggunakan sepeda motor (apalagi mobil);
  • bebas hambatan sehingga kecepatan perjalanan lebih tinggi;
  • layanan dapat diandalkan, tepat waktu dan pasti;
  • keamanan (keselamatan, bebas copet, dan bebas pelecehan) terjamin;
  • kenyamanan memadai,
  • AUP pengumpan terjamin dan memenuhi kriteria di atas.

Bila semua itu terpenuhi, tak perlu ada peraturan membatasi penggunaan sepeda motor dan mobil pribadi. Sangat masuk akal sebagian besar pasti akan memilih menggunakan AUP.

Di kota-kota besar dunia, SAUM (rel) adalah tulang punggung angkutan perkotaan. Tak perlu jauh-jauh, Singapura sudah dilayani SAUM bawah tanah yang dibangun sejak 1987, ketika jumlah penduduknya baru 2.500.000  jiwa. Hongkong mulai menerapkan SAUM pada 1979 ketika jumlah penduduknya 5.000.000 jiwa . Singapura yang berpenduduk + 4.600.000  jiwa sudah menerapkan SAUM, Kota Bandung yang berpenduduk sekitar 3.000.000 jiwa baru mengoperasikan TMB yang masih tertatih-tatih dan angkutan jalan rel perkotaan baru pada tahap wacana, sementara SAUM di Jakarta yang berpenduduk lebih dari 10.000.000 jiwa hanya berupa pilar-pilar tak selesai dan terbengkalai layaknya tugu-tugu yang membisu. Jangan bandingkan dengan Tokyo atau London atau Paris; karena ini sama saja membandingkan durian dengan rambutan.

Penetapan “Faktor Muatan”

Penetapan faktor muatan (load factor) 70%, jelas tanpa perhitungan matang terbukti dari penetapan tarif resmi. Dengan tarif Rp 2.000,- sudah harus diketahui bahwa operator tak mungkin bisa menutup biaya operasi pelayanan yang mencapai kira-kira Rp 300.000,-/hari. Kenyataan menunjukkan bahwa tingkat muatan (rerata jumlah penumpang/hari/kendaraan) adalah antara 100-115 penumpang/hari/kendaraan, artinya, kapasitas kendaraan yang beroperasi 5 rit/hari sebesar 120 penumpang, tidak terisi penuh. Dengan muatan sebanyak itu pun biaya operasi/hari belum terpenuhi. Akibatnya, banyak sopir angkot yang melanggar lintas/rute, menarik ongkos lebih tinggi, mengurangi biaya perawatan kendaraan, dan lain-lain sekedar bertahan hidup agar kendaraan masih bisa beroperasi.

Penetapan faktor muatan 70% sudah membuktikan bahwa Pemerintah u/p Dinas Perhubungan dengan sadar mengakui bahwa jumlah penumpang sangat sedikit, padahal sepanjang lintas yang dilaluinya terjadi beberapa kali penupang turun-naik, dan dengan demikian faktor muatan angkot dapat lebih besar dari 100%. Bila penetapan faktor muatan di bawah 100% (yang mengandung makna bahwa sepanjang lintas operasinya hanya mengangkut jumlah penumpng lebih sedikit daripada kapasitas kendaraan) maka tarif/penumpang menjadi tinggi (mahal), jadi pemerintah “wajib” mensubsidi atas tarif yang ditetapkannya di bawah biaya operasi layanan agar tarif/penumpang AUP terjangkau oleh daya beli masyarakat, dan usaha pelayanan jasa swasta dapat bejalan bahkan seharusnya terbuka peluang untuk berkembang.

Kualitas angkutan perkotaan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun badan usaha swasta, sampai kini belum memadai. Ada pendapat bahwa nyaris semua pengemudi AUP adalah manusia pelanggar tatakrama berlalulintas, sementara itu mereka berdalih terpaksa melakukannya karena harus mengejar target setoran. Apakah dengan demikian penyebabnya harus atau layak ditimpakan kepada para pengusaha ? Pengusaha pun berdalih harus mendapatkan kepastian pendapatan/hari karena beban pajak dan cicilan modal serta keuntungan usaha harus pula terpenuhi, sehingga sistem setoranlah yang dianggap paling aman. Fakta bahwa DAMRI yang menerapkan sistem gaji tetap pun tak bisa bertahan lama, adalah salah satu bukti keabsahan argumennya.

Keseimbangan sediaan-kebutuhan

Pelayanan jasa AUP diatur dalam sistem trayek dan lintas/rute. Harus ada keseimbangan antara sediaan kapasitas armada dengan volume pengguna jasa AUP. Pemberian izin operasi AUP seharusnya menjadi alat kendali guna menjaga keseimbangan antara jumlah armada dengan prakiraan volume pengguna jasa AUP, namun ada kesan pemberian izin operasi AUP dijadikan salah satu sumber PAD, orientasinya pada pemasukan uang (PAD), sehingga terjadi tumpang tindih trayek pada ruas jalan tertentu.

Untuk menjamin keberlanjutan usaha AUP maka keseimbangan kapasitas armada/trayek dengan volume pengguna jasa harus dijaga. Masalah bertambah rumit bila ada ruas jalan yang “terpaksa” harus menjadi lintasan lebih dari satu trayek. Pada ruas tertentu itupun harus diperhitungkan keseimbangan seperti tersebut di atas. Oleh karena itu, pemberian izin trayek harus sekaligus dengan izin lintasan; apabila hal ini diabaikan maka tumpang tindih trayek berakibat pada “perebutan” penumpang.

Memang rumit dan pelik, namun itulah tugas pemerintah untuk menjamin pelayanan umum dengan baik bagi masyarakat luas tanpa mengabaikan keberlanjutan sektor usaha swasta yang berorientasi pada laba finansial. Celakanya, BUMN di sektor angkutan pun dituntut memupuk laba, padahal seharusnya lebih mengutamakan mobilitas orang dan/atau barang. Angkutan diposisikan sebagai faktor penunjang kegiatan sosekbud bukan untuk memperoleh laba langsung melainkan pada manfaat ikutan dari kelancaran mobilitas tersebut yang dampak akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat.

Catatan: Tulisan ini sudah pernah dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat 8 Februari 2012

Bandung, 04.02.12

Penulis

Suwardjoko P Warpani

Pemerhati angkutan dan lalu-lintas

Staf Pengajar pada

Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota – ITB

SAPPK – Institut Teknologi Bandung

Tinggalkan komentar